Al Qur’an dan Sumber Pangan
Tuhan kita, Allah yang Maha Bijaksana telah menegaskan berbagai ilmu, wawasan dan pemahaman yang sangat mudah untuk dipahami sebagaimana mudahnya kasat mata ini mampu untuk melihat cahaya matahari di siang bolong.
Dalam Al Qur’an, Allah telah menegaskan bahwa kitab (buku) yang suci ini adalah sumber ilmu pengetahuan, pedoman dan paduan yang berisikan “Kebenaran yang Mutlak” (Al Haqqul Yaqin) – dengan demikian segala bentuk versi kebenaran yang dipertentangkan oleh makhluk-Nya, yang mampu menghakiminya tiada lain adalah hanyalah Al Qur’an semata bagi mereka yang berpikir dan bagi mereka yang meyakininya.
Dalam Al Qur’an, Allah telah menegaskan bahwa kitab (buku) yang suci ini memiliki fungsi dan peranan sebagai “pembeda atau pemisah” (Al Furqan) antara mana yang baik dan mana yang buruk, antara mana yang benar dan mana salah, mana yang hitam dan mana yang putih, yang sangat jelas dan terang benderang bagi mereka yang berpikir dan bagi mereka yang meyakininya.
Dalam Al Qur’an, Allah juga telah menegaskan bahwa kitab (buku) yang suci ini memiliki fungsi dan peranan yang dapat “menjelaskan segala hal” (Tibiyanan Likulli sya’in), menjelaskan segala sesuatu yang berada di dalam kehidupan dunia manusia bersama alam semestanya. Oleh karenanya, sumber ilmu dan wawasan yang mampu menjelaskan pemahaman akan kebenaran yang mutlak dari berbagai ilmu dan wawasan intelektual-rasional yang kita dapatkan selama proses perjalanan pendidikan yang kita tekuni, tentunya tiada lain adalah dari Al Qur’an semata bagi mereka yang berpikir dan bagi mereka yang meyakininya.
Berbasis dari metodologi di atas, maka kami pun mencoba menawarkan opini kami tentang Al Qur’an dan sumber pangan manusia saat ini.
Dalam al-Qur’an, ketika berbicara tentang jenis pangan yang harus dikonsumsi, Al-Qur’an seringkali menekankan pada dua syarat dan ketentuan, yaitu ianya haruslah halal dan baik (thayyib). Di bawah ini adalah beberapa ayat diantaranya yang menegaskan kedua sifat ini, antara lain:
Surah Al-Baqarah ayat 168
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوۡا مِمَّا فِى الۡاَرۡضِ حَلٰلًا طَيِّبًا وَّلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِؕ اِنَّهٗ لَـكُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ ١٦٨
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Surah Al-Maidah ayat 88
وَكُلُوۡا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا وَّ اتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِىۡۤ اَنۡـتُمۡ بِهٖ مُؤۡمِنُوۡنَ ٨٨
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Surah An-Nahl ayat 114
فَكُلُوۡا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا وَّاشۡكُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰهِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ اِيَّاهُ تَعۡبُدُوۡنَ ١١٤
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.“
Syarat dan ketentuan akan kehalalan dan kethoyyiban pada sumber pangan kita ini ini menunjukkan bahwa pangan yang sebaiknya dikonsumsi oleh manusia haruslah memenuhi persyaratan keduanya. Tidaklah sesuatu disebut sebagai halal jika ianya tidak baik (thoyyib), sebaliknya tidaklah sesuatu disebut baik (thoyyib) jika ia diperoleh dari sesuatu yang tidak halal, sehingga halal dan thoyyib ini adalah dua sifat yang multiparalel yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terpenuhinya syarat halal dan thoyyib ini, maka tentu saja akan mendatangkan kebaikan, keberkahan dan rahmat Allah pada pangan yang dikonsumsi oleh manusia. Seorang petani dan pedagang (wiraswasta) yang bergerak dalam bidang penyediaan, pengelolaan dan pengolahan sumber pangan dimanapun mereka berada saat ini, sudah sepatutnya untuk bersikap kritis, waspada dan berhati-hati dalam menjalankan aktivitasnya. Karena jika tidak, maka dampak dan konsekuensi buruklah yang akan menyapa di hari esok, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, terima atau tidak terima, cepat atau lambat.
Imam al-Ghazali rahimahullah mengumpamakan perihal sumber pangan dalam islam, ibarat sebuah pondasi pada sebuah bangunan. Menurut Beliau, ketika pondasi itu kuat dan kokoh, maka bangunan itupun akan berdiri tegak dan kokoh. Demikian pula sebaliknya, apabila pondasi itu lemah dan rapuh, niscaya bagunan itu pun akan lemah, rapuh, ambruk dan runtuh pada akhirnya.
Penjabaran dari sifat Halal dan Thoyyib dalam dunia pangan inilah yang telah menghilang dalam dunia pertanian modern. Sehingga kesehatan tubuh, moral, mental, iman dan genetika manusia menjadi unssutainable (lemah, rapuh, ambruk dan runtuh). “We are what we eat,” (realitas diri kita terbentuk dari apa yang kita makan) bukanlah pepatah pepesan kosong. Dan dengan menyedihkannya, Al Qur’an yang turun sekitar 1446 tahun yang lalu telah memberikan wawasan tentang perihal ini.
Penyebab Tidak Thoyyibnya Sumber Pangan
Ada dua hal yang menjadi penyebab utama tidak thoyyibnya sumber pangan yang beredar dan menjadi bahan konsumsi manusia sehari-hari saat ini. Sebab dan akibat atau fitrah yang mutlak terjadi ketika manusia telah menentang hukum dan aturan dari Tuhannya.
- Korupsi dan Eksploitasi alam semesta. Metode pengelolaan dan pengolahan bahan baku sumber pangan yang dijalankan oleh pertanian konvensional dan modern beserta pelaku industrinya saat ini, syarat dengan tindakan korupsi dan ekploitasi alam yang berujung pada kerusakan pada ekosistem alamiah ciptaan Tuhannya. Penggunaan teknologi yang merusak lingkungan, pemakaian pupuk berbahan kimia sintesis secara masif, pestisida; herbisida; insektisida secara masif, dimana pada akhirnya merusak fitrah dari keseimbangan dan keadilan ekosistem kehidupan di muka bumi ini yang telah diciptakan sebaik-baiknya dengan sebenar-benarnya oleh Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah.
- Spiritualisme yang terlupakan. Nafsu duniawi (musyrik yang tidak terlihat). Niatan atau visi dan misi dalam dunia pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam saat ini bukan lagi ditujukan untuk kebaikan bersama di antara sesama manusia, kebaikan bersama di antara manusia dengan makhluk hidup lainnya, dan kebaikan bersama di antara manusia dengan alam sekitarnya. Keberadaan Tuhan yang Maha Esa dalam segala aktivitas kehidupannya telah diabaikan dan keberadaan materialisme, hedonisme, egoisme, kekuasaan dan segala bentuk ilusi keindahan dunia telah menjadi tuhan-tuhan baru bagi mereka. Sedemikian rupa keadilan sosial, penghormatan, cinta dan kasih sayang, perlahan namun pasti, telah meninggalkan ruang hati (kalbu) mereka.
Jika Anda tidak perduli atau tidak sedikitpun menaruh empati terhadap penyebab tidak thoyyibnya sumber pangan manusia ini, maka perhatikanlah dengan kasat mata dan mata hati (kalbu) anda sendiri akan dampak dan konsekuensi yang terjadi karenanya.
Dampak dan Konsekuensi
Tidak thoyyibnya sumber pangan yang dikonsumsi oleh manusia akan memberikan dampak buruk yang signifikan dan sangat destruktif. Karena tidak hanya kerugian yang akan kita dapatkan dalam kehidupan dunia yang hanya sebentar saja, namun kerugian terbesarnya dan terburuknya adalah di hari akhir nan kekal atau di hari penghakiman kita nantinya.
- Dari sisi Kesehatan tubuh (fisik) manusia. Sumber pangan yang tidak thoyyib mengurangi dan bahkan menghilangkan fungsi dan peranan dari pangan itu sendiri sebagai sumber nutrisi, vitamin, dan mineral bagi sistem imun tubuh manusia. Sehingga perkembangan tubuh dan daya tahan tubuh akan melemah dan bahkan rusak sehingga berbagai penyakit pun akan membombardir tubuh kita baik penyakit alami maupun penyakit dari buatan manusia.
- Dari sisi mental dan moral manusia. Sumber pangan yang tidak thoyyib selain dari merusak tubuh (fisik) manusia meski secara tidak langsung (instan), ia juga dapat menyebabkan perubahan genetika dari fitrah manusia yang pada akhirnya mempengaruhi orientasi manusia baik dari sisi mentalitas maupun moralitasnya. Sebagai contoh, kelainan orientasi seksual (hubungan sesama jenis), orientasi gender, dll.
- Dari sisi keimanan (spiritualitas) manusia. Sumber Pangan yang tidak thoyyib selain berdampak kerusakan pada manusia, namun sesungguhnya dari awal pengelolaannya dengan sangat menyedihkannya, telah merusak dalam skala permanen pada keseimbangan ekosistem alamiah ciptaan Allah. Sehingga lahirlah istilah kata “punah” dalam keseimbangan ekosistem tersebut. Sumber pangan seperti ini ketika dikonsumsi, tentunya tidak lagi akan mendatangkan rahmat dan berkah dari Allah. Sedemikian rupa hati (kalbu) yang berada di dalam dada yang telah diberkahi oleh Allah berupa penglihatan dan pendengaran untuk memahami diri, dunia dan Tuhannya pun tidak lagi berfungsi dengan sebagai mana mestinya. Maka keimanan dan spritualitas dari manusia pun perlahan namun pasti akan berkurang dan bahkan menghilang dari peradaban manusia itu sendiri.
Gerakan LGBTQ+++ yang sedang merebak di seantero dunia saat ini hanyalah sebatas pemicu dari apa yang tampak di kasat mata. Memicu kebangkitan dari eksistensi mereka yang telah mengalami kelainan genetika, mental dan moral karena sekian lama telah mengonsumsi pangan yang tidak halal dan thayyib. Budaya sodom dan gomorah ini tidaklah lahir secara kebetulan belaka, ada sebab dan ada akibat di balik malam yang gelap gulita.
Dalam dunia kesehatan berbagai penyakit aneh bin ajaib pun bermunculan. Dimana belum pernah dalam sejarah peradaban manusia mengalami penyakit yang serupa terutama penyakit kanker, diabetes, alzheimer, autis, penyebaran virus secara global, dan penyakit lainnya baik yang alami ataupun buatan manusia. Semua penyakit-penyakit ini hanya akan berdampak atau menyerang mereka yang sekian lama telah mengonsumsi pangan yang tidak halal dan thayyib sehingga daya tahan tubuh (sistem imunitas) mereka lemah dan rapuh.
Sedangkan dalam konteks keimanan (keyakinan spiritual) seorang manusia, yang paling dirusak oleh tidak halal dan thoyyibnya sumber pangan kita tiada lain adalah hati (kalbu) yang telah diberkahi oleh Allah kemampuan dalam pendengaran, penglihatan dan kemampuan untuk memahami, tidak lagi berfungsi dengan baik dan benar. Dan yang terburuknya adalah hati (kalbu) itupun menjadi buta, tuli, bisu dan tidak lagi sanggup untuk memahami sama sekali.
صُمٌّۢ بُكۡمٌ عُمۡـىٌ فَهُمۡ لَا يَعۡقِلُوۡنَ ١٧١…
(Hati/Kalbu Mereka) tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak lagi dapat memahami (kebenaran).
Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 171.
Solusi & Pencerahan
Sejatinya, motivasi dari bertani, berkebun, beternak dan mengelola alam adalah semata-mata untuk pengabdian dan pengorbanan diri kita selaku manusia kepada Allah yang Maha Bijaksana, yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menjadi sebaik-baiknya makhluk ciptaan-Nya yang dapat membawa rahmat dan berkah Tuhannya bagi semesta alam. Khalifah fil Ard. Khalifah di muka bumi.
Sistem atau mekanisme pertanian konvensional dan modern tidak lagi melibatkan spiritualisme dalam dalam segala bentuk niatan maupun aktivitasnya sedemikian rupa segala aspek yang terlibat di dalamnya pun pada akhirnya kehilangan keseimbangan dan keadilan yang menjadi tiang utama dalam keberlanjutan atau kelestarian bagi semesta alam dimana kita berpijak. Keberlanjutan dan kelestarian dunia pertanian yang menyediakan sumber pangan yang halal dan thayyib pun pada akhirnya mengalami penurunan drastis dan bahkan menghilang dari peradaban manusia modern. Sehingga kesejahteraan masyarakat petani semakin terpuruk dan karenanya tentu saja mengakibatkan regenerasi petani (minat generasi muda) terhadap dunia pertanian semakin menyusut dan semakin berkurang. Dampak dan konsekuensi dalam melakukan segala hal yang melanggar ketetapan fitrah Tuhannya (Sunnatullah).
Solusi sederhana yang dapat kami lakukan saat ini adalah melalui pengembangan edukasi dan penerapan (implementasi) yang dijalankan secara harmonis, selaras dan saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Melalui pengembangan sarana Pendidikan non formal berupa Sekolah Petani Quranic dalam sebuah kawasan agroforesty (hutan pangan) berbasis sunnatullah yang ditujukan kepada anak-anak (putra) yatim, dhuafa dan putus sekolah minimal berumur 10 tahun. Melalui metode pencerahan dalam perluasan cakrawala pengetahuan generasi penerus yang kami sebut sebagai “Majma’ul Bahrain” atau Pertemuan Dua Lautan. Yakni lautan pengetahuan (wawasan) yang diraih secara eksternal (intelektual dan rasional) dan dapat diterima melalui lautan pengetahuan (wawasan) yang diraih dari kebijaksanaan internal (spiritual/kebathinan) manusia. Alasan dibalik mengapa kami memutuskan untuk memulainya dari anak-anak yatim dan dhuafa terlebih dahulu akan kami ulas di artikel khusus yang membahas tentang hal ini.
Insha Allah…
Dengan Cinta,
Awaluddin Pappaseng Ribitttara