December 9, 2024

Filosofi Petani Quranic dan Peranan Krusial Anak Yatim dan Dhuafa dalam Regenerasinya


Featured image for “Filosofi Petani Quranic dan Peranan Krusial Anak Yatim dan Dhuafa dalam Regenerasinya”

Sebagai seorang muslim, kita semua tentunya telah mengetahui bagaimana Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya peranan anak yatim dan kaum dhuafa dalam kehidupan umat manusia. Bahkan Allah, Tuhan yang Maha Esa dengan segala Kebijaksanaan-Nya, telah menempatkan mereka pada sebuah surah khusus dalam Al-Qur’an, yakni Surah Al Ma’un yang termasuk surah pendek dalam juz terakhir. Sebelum melangkah lebih jauh membahas esai ini, perlu kita ketahui bahwa untuk menemukan penjelasan sebuah topik dari setiap ayat-ayat dalam Surah, kita harus mencari ayat-ayat lain di Surah-surah lainnya yang membahas topik yang sama sehingga kita mampu menemukan keterkaitan di antara satu dengan yang lainnya sedemikian rupa terbentuklah sistem makna (pemahaman) dalam diri kita yaitu “Kejelasan akan pencerahan sebuah topik dalam Al-Qur’an.” Inilah yang selalu kami dengungkan yang telah diajarkan oleh Guru kami yang tercinta Maulana Imran Nazar Hosein, dengan istilah “Al-Qur’an dan Bintang.” Yakni sebuah Metodologi dalam mempelajari, mengkaji, dan memahami Al-Qur’an layaknya mempelajari bintang-bintang di langit malam yang membentuk sebuah gugusan (rasi) Bintang, sehingga dapat menjadi petunjuk arah bagi nelayan yang sedang berlayar di malam hari.

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Maun ayat 1-4, Allah berfirman:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

“Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

اَرَءَيۡتَ الَّذِىۡ يُكَذِّبُ بِالدِّيۡنِؕ‏ ١

“Pernahkah kamu melihat orang-orang yang mengingkari Hari Penghakiman?”

فَذٰلِكَ الَّذِىۡ يَدُعُّ الۡيَتِيۡمَۙ‏ ٢

“Itulah orang-orang yang mencampakkan [menindas, menzalimi, tidak adil kepada] anak yatim.”

وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الۡمِسۡكِيۡنِؕ‏ ٣

“Dan tidak menganjurkan untuk memberi makan (bantuan & pertolongan) kepada fakir miskin.”

فَوَيۡلٌ لِّلۡمُصَلِّيۡنَۙ‏ ٤

“Maka celakalah bagi mereka [orang-orang] yang melaksanakan shalat (orang-orang yang beribadah).”

Sangat terang dan begitu jelas secerah cahaya matahari di siang bolong, bahwasanya kedudukan anak-anak yatim dan kaum dhuafa begitu krusial dalam kehidupan umat muslim. Memuliakan mereka, berprilaku baik dan adil kepada mereka, menolong dan memperhatikan mereka, semua ini adalah kewajiban dan bagian dari keimanan sejati setiap umat muslim di muka bumi ini. “Karena kebaikan universal tidaklah diraih hanya dari sebatas ibadah ritual semata dan adalah sebuah kerugian yang nyata bagi mereka orang-orang yang beribadah namun lalai dalam mengimplementasikan ibadahnya.” Untuk mempertegas hal ini pun Allah telah menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 177 di bawah ini.

 لَيۡسَ الۡبِرَّ اَنۡ تُوَلُّوۡا وُجُوۡهَكُمۡ قِبَلَ الۡمَشۡرِقِ وَ الۡمَغۡرِبِ وَلٰـكِنَّ الۡبِرَّ مَنۡ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَالۡمَلٰٓٮِٕکَةِ وَالۡكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ​ۚ وَاٰتَى الۡمَالَ …عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الۡقُرۡبٰى وَالۡيَتٰمٰى وَالۡمَسٰكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِۙ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan (ritual ibadah), akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, …”

Ibadah kita, shalat kita, ngaji kita, penghambaan kita kepada Allah Azza wa Jalla bukanlah sekedar rutinitas ritual semata apalagi sekedar untuk unjuk gigi memamerkan betapa suksesnya dan betapa mewahnya diri kita dengan gelar, status, posisi dan kedudukan dalam kehidupan beragama kita. Implementasi (tindakan), sikap dan perilaku kita yang menjadi bukti nyata akan perwujudan sebenarnya dari ibadah kita kepada Tuhan kita.

Di surah yang sama, yakni di Surah Al Baqarah ayat 220, Allah berfirman:

فِى الدُّنۡيَا وَالۡاٰخِرَةِؕ وَيَسۡـــَٔلُوۡنَكَ عَنِ الۡيَتٰمٰىؕ قُلۡ اِصۡلَاحٌ لَّهُمۡ خَيۡرٌ ؕ وَاِنۡ تُخَالِطُوۡهُمۡ فَاِخۡوَانُكُمۡ​ؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ الۡمُفۡسِدَ مِنَ الۡمُصۡلِحِ​ؕ وَلَوۡ شَآءَ اللّٰهُ لَاَعۡنَتَكُمۡؕ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيۡزٌ حَكِيۡمٌ‏ ٢٢٠

“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak yatim. Katakanlah, “(Mengurus) kesejahteraan mereka adalah yang terbaik. Dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan (kezaliman dan korupsi) dari orang-orang yang melakukan kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia tidak akan menyulitkan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dan di Surah An-Nisa ayat 36, Allah Berfirman:

وَاعۡبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشۡرِكُوۡا بِهٖ شَيۡــًٔـا​  وَّبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا وَّبِذِى الۡقُرۡبٰى وَالۡيَتٰمٰى وَ الۡمَسٰكِيۡنِ وَالۡجَـارِ ذِى الۡقُرۡبٰى وَالۡجَـارِ الۡجُـنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالۡجَـنۡۢبِ وَابۡنِ السَّبِيۡلِ  وَمَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ​  اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنۡ كَانَ مُخۡتَالًا فَخُوۡرَا ‏ ٣٦

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan dirinya.”

Kemudian dalam Surah Al-Insan ayat 8, Allah lagi-lagi menegaskan dalam firmanya:

وَيُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسۡكِيۡنًا وَّيَتِيۡمًا وَّاَسِيۡرًا‏ ٨

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”

Dari beberapa ayat di atas seharusnya kita juga menyadari bagaimana hak-hak anak yatim dan kaum dhuafa dalam kehidupan spiritual umat muslim hingga di liang kuburnya.  Memperlakukan mereka dengan baik, setara, sejajar, adil dan seimbang. Memperhatikan dengan seksama kesejahteraan akan kehidupan mereka. Menolong dan melindungi mereka. Inilah terminologi dari “memberi makanan yang kita sukai pada kaum dhuafa dan anak yatim.” Dan tidak kalah pentingnya adalah, memberikan pendidikan yang berkualitas sedemikian rupa mereka pada akhirnya dapat mandiri dan berdaulat serta sejahtera dalam menjalani kehidupannya. Seperti dalam kata pepatah bijak dimana penulis melakukan sedikit revisi yang disesuaikan dengan konteks esai ini, yaitu:

Berilah anak yatim dan dhuafa ikan, maka Anda memberinya makanan untuk satu hari. Ajarilah (didiklah) mereka untuk memancing, maka Anda akan memberinya makanan untuk seumur hidupnya.

Tidak hanya berbagai macam peringatan dan perintah yang telah Allah berikan pada kita dalam tentang topik anak yatim dan kaum dhuafa ini, namun antisipasi terhadap realitas bahwa akan terjadi beragam tindakan atau perlakuan manusia yang melanggar atau ingkar dengan apa-apa yang telah diterangkan di atas, juga ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surah Ad-Duha ayat 9-10.

فَاَمَّا الۡيَتِيۡمَ فَلَا تَقۡهَرۡؕ‏ ٩

“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang [berbuat zalim, korup dan mengeksploitasi mereka].”

وَاَمَّا السَّآٮِٕلَ فَلَا تَنۡهَرۡؕ‏ ١٠

“Dan terhadap orang yang minta-minta [fakir miskin], janganlah kamu menghardiknya [mengolok-mengolok, meremehkan, merendahkan mereka].”

Tidak ada yang kebetulan dari segala informasi yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an. Selalu ada hikmah berupa maksud, tujuan, alasan, sebab dan akibat yang saling terhubung antara satu dengan lainnya bagi mereka yang berpikir dan bagi mereka yang meyakininya. Di dalam Surah Ad-Duha ayat 9 dan 10 di atas, sebagai konsekuensi dari Kitab Al-Qur’an yang merupakan kita suci terakhir untuk umat manusia akhir zaman, Al-Qur’an telah mengantisipasi bahwa di masa kehidupan manusia di akhir zaman, akan banyak terjadi kemunculan orang-orang yang akan berlaku sewenang-wenang terhadap anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Orang-orang yang berbuat zalim kepada mereka, mengeksploitasi mereka, memanfaatkan kelemahan dan ketidakberdayaan mereka, dengan berbagai tindakan, sikap dan perilaku yang sama sekali tidak mencerminkan orang-orang yang baik, orang-orang beriman, dan atau orang-orang yang yang beragama. Namun aneh bin Ajaib, justru, orang-orang seperti inilah membungkus dirinya dengan jubah agama, atau membungkus dirinya dengan jubah status, kedudukan dan gelarnya, seakan-akan dunia ini berada di dalam genggaman tangan mereka yang bisa mereka permainkan sesuka hatinya, sedang Allah tidak menyukai bahkan menghinakan orang-orang yang arogan, sombong lagi membangga-banggakan dirinya.


Filosofi petani quranic

Tidak bisa dipungkiri bahwa potret dan citra profesi petani saat ini sangat rendah dan tidak menarik sama sekali di mata Masyarakat pada umumnya. Bahkan dengan menyedihkannya, mayoritas profesi petani dihuni oleh mereka orang-orang yang dari kalangan kelas bawah atau kurang mampu. Sehingga mereka (para petani) yang telah menyandang status sebagai orang tua, tentu saja tidak menginginkan anak-anaknya, generasi penerusnya untuk meneruskan legasi mereka. Adapun ketika seseorang berkoar-koar tentang gelar petani kaya dan petani sukses, petani yang mereka maksud itu bukanlah petani yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas pengepul atau pengusaha yang bergerak di bidang pertanian yang tangan-tangannya dan kaki-kakinya jarang bersentuhan dengan tanah, yang sangat jarang berkeringat di bawah terik matahari, yang sangat jarang mengalami luka atau lecet karena menyentuh duri atau tersayat sabit, parang, cangkul, dll.

Ketika kita belajar dari sejarah nenek moyang bangsa ini, seharusnya kita menyadari bahwa penjajah dan perampok hanya akan menjarah suatu negeri yang makmur dan sejahtera. Ini logika yang sangat sederhana dan sangat mudah diterima oleh akal sehat. Dengan demikian tentu sudah jelas bahwasanya nenek moyang kita terdahulu adalah sekumpulan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Namun apakah profesi mereka sehingga mereka hidup dalam kemakmuran? Apakah mereka Pengusaha? Pejabat? Militer? Profesor? Dosen? PNS?  Jawabannya tentu saja tidak ada dari profesi tersebut. Dan jawaban yang paling tepat adalah Petani. Nenek moyang kita menanam, merawat, dan memanen dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang berbasis pada pengabdian dan pengorbanan pada Tuhannya yang Satu. Lalu berdagang dengan kelebihan hasil panen yang mereka miliki setelah tercukupinya kebutuhan kehidupan keluarga dan komunitasnya (masyarakat), dengan niatan untuk memperluas ilmu, wawasan dan hubungan silaturahmi dengan manusia-manusia lainnya di muka bumi ini. Selebihnya, waktu mereka dihabiskan untuk beribadah dan mengabdi kepada Tuhannya. Inilah salah satu dari kearifan dan kebijaksanaan nenek moyang kita yang telah hilang dari peradaban bangsa kita saat ini.

Kearifan dan Kebijaksanaan manusia yang berprofesi sebagai Petani kini semakin menghilang dari mayoritas kehidupan petani saat ini. Dengan alasan tuntutan ekonomi keluarganya untuk pendidikan anak-anaknya, kebutuhan akan kenyamanan dalam kehidupan rumah tangganya seperti rumah, kendaraan dan peralatan-peralatan pendukung lainnya, sampai-sampai melebihi dari batas kemampuan dan kecukupannya. Nafsu-nafsu duniawi yang juga telah menguasai ruang kalbu para petani masa kini. Sedemikian rupa segala cara pun mereka lakukan tanpa mempertimbangkan dampak dan konsekuensinya, baik atau buruknya terhadap alam Ciptaan Tuhannya ataupun terhadap dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Saya adalah saya, saya adalah apa yang saya kerjakan, dan apa pun yang saya hasilkan hanyalah untuk diri saya sendiri dan keluarga saya semata, dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, hanyalah dedaunan kering yang berterbangan di udara dan akan musnah dengan sendirinya.

“Ketika empati, penghormatan, penghargaan, cinta dan kasih sayang terhadap alam semesta ciptaan Tuhannya, telah menguap ke langit yang tak akan pernah tersentuh oleh kalbu yang sengaja membisu, tuli, dan buta, maka saksikanlah dampak dan konsekuensinya, cepat atau lambat. Karena ayam-ayam kampung akan selalu kembali untuk bertengger di kandangnya.”

Sungguh, betapa menyedihkannya realitas kita saat ini. Sebuah kondisi di mana manusia telah menjauh dari pedoman dan panduan suci kehidupannya. Di mana manusia telah menjauh dari fitrahnya sebagai makhluk yang diutus oleh Tuhannya ke muka bumi untuk menjadi seorang Khalifah yang dapat membawa Rahmat dan Berkah Tuhannya bagi semesta alam.

Kemerosotan moral dan spiritual seorang manusia akan selalu berbanding lurus dengan kemerosotan kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan dan kedamaian dirinya dalam kehidupannya di muka bumi ini. Dan hanya mereka yang kalbunya telah bisu, tuli dan buta, yang beranggapan bahwa hanya harta kekayaan berbasis materi sajalah yang menjadi takaran peningkatan kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupannya di muka bumi ini.

Lalu bagaimana solusinya? Bagaimana kita bisa merubahnya? Bagaimana kita bisa memperbaikinya?

Sebelum mendirikan Yayasan ini, penulis pernah beraktivitas sebagai petani di sebuah kampung pedalaman di salah satu daerah di Sulawesi Selatan dengan merintis dan menjalankan program yang kami namakan “hutan pangan alami,” dengan misinya untuk pemberdayaan masyarakat petani sekitar melalui penerapan sistem integrasi pertanian alami yang bekelanjutan. Pembaca bisa melihat rekam jejak kami di sini (anoafarm). Namun selama kurun waktu empat tahun, kami akhirnya memutuskan untuk menghentikannya dengan kata lain kami telah gagal dalam mewujudkan program tersebut. Namun kami tidak akan menyerah begitu saja dengan keadaan tersebut. Karena justru berbasis dari berbagai pengalaman yang kami dapatkan selama menjalankan program tersebutlah, Yayasan ini bisa berdiri dengan program khususnya yakni sekolah petani quranic, dan tulisan-tulisan kami di website inilah yang sedang menjelaskan ilmu dan wawasan yang kami peroleh dari pengalaman-pengalaman kami tersebut. Illa Masha Allah.

Ketika menemukan sebuah permasalahan dalam kehidupan, yang paling pertama yang harus kita fokuskan perhatiannya adalah, di mana letak akar rumput (the grass root) atau pondasi penyebab permasalahannya. Dan akar rumput atau pondasi permasalahan dari topik yang dibahas ini tentu saja adalah kemerosotan moral dan spiritual sehingga ketiadaan akan kearifan dan kebijaksanaan internal (spiritual) dari manusianya dalam menjalani segala bentuk aktivitas kehidupannya, seperti yang telah kami utarakan sebelumnya. Mayoritas manusia khususnya di kalangan petani tidak lagi perduli dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip akan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Fokus mereka hanya satu yaitu keuntungan materi semata meski harus menindas, menzalimi, dan mengorbankan apapun atau siapapun. Dan perhatikanlah dengan seksama apa yang telah terjadi, apa yang telah dihasilkan dari sikap dan perilaku yang seperti ini. Dampak dan Konsekuensinya.

Meski pemerintah maupun pihak swasta atau akademisi menggelontorkan dana milyaran bahkan trilyunan mengirimkan berbagai macam bantuan baik berupa program, peralatan pendukung, dana sosial, dll, tidak akan ada yang berubah sama sekali. Mungkin saja akan ada perubahan dalam jangka pendek, namun ketika berbicara dalam skala jangka panjang, pada akhirnya pasti akan runtuh dan ambruk. Meski jargon-jargon sustainability (keberlanjutan/ kelestarian) digemborkan sana sini dengan biaya yang juga tidak sedikit, semua itu hanyalah kesia-siaan belaka. Hanya akan digunakan menjadi sarana untuk menambah pundi-pundi kekayaan, dan eksistensi diri suatu oknum atau pihak-pihak tertentu. Karena pada hakekatnya, yang harus diperbaiki dan dirubah adalah moral dan spiritual manusianya terlebih dahulu. Dan ini berlaku ke semua pihak, baik dari sisi petaninya, masyarakatnya, pemerintahannya, para pejabatnya, pihak swastanya, akademisinya, guru-gurunya, ulamanya atau pemuka agamanya, dan semua pihak yang terlibat dalam satu kesatuan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang menjadi pertanyaan kritisnya adalah “Adakah kemungkinan hal ini (perbaikan moral dan spiritual) dari subyek-subyek yang disebutkan tadi, bisa terwujud ketika arogansi dan kesombongan diri terhadap harta, tahta, status, gelar dan ketenaran telah menjadi tuhan-tuhannya?”

Inilah berbagai alasan yang kami utarakan dibalik visi dan misi kami dalam meregenerasi Petani Quranic, di mana kami sangat yakin dengan dan atas izin Allah yang Maha Bijaksana, bahwa jalan inilah yang bisa menjadi solusi yang baik dan benar dalam mengatasi akar permasalahan di atas. Karena keyakinan kami bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya sumber Kebenaran yang Mutlak (absolut), maka pedoman, panduan, peraturan, hukum-hukum, adab, etika, dll, dalam menjalani segala bentuk aktivitas kita di kehidupan dunia ini khususnya selaku seorang petani, haruslah berbasis pada Al-Qur’an semata.

Filosofi dari Petani Quranic tiada lain adalah sebuah pendekatan pada sikap, perilaku dan karakter manusia dalam menjalani proses kehidupannya di muka bumi, melalui penerapan ilmu dan pengetahuan (wawasan) yang diraih secara eksternal (intelektual dan rasional) dan dapat diterima dengan baik dan benar oleh ilmu dan pengetahuan (wawasan) yang bersumber dari dalam kalbu (internal/spiritual). Di mana Al-Qur’an mendapatkan posisi yang tertinggi di atas segalanya sebagai sumber kebenaran yang mutlak (absolut) dan oleh karena itu, seluruh pedoman, panduan, aturan, hukum, prinsip dan nilai-nilai yang diterapkan wajib untuk tunduk dan patuh pada Al-Qur’an.

Prinsip utama dalam filosofi petani qurani ini pada dasarnya sudah umum diketahui oleh umat muslim yakni Hablumminalllah, Hablum minannas, dan Hablum minal alam. Namun apalah arti sebuah ilmu ketika hanya sebatas teori namun minim bahkan tidak ada implementasi sama sekali.

Dalam hablumminallah, seorang petani quranic wajib untuk tunduk dan patuh sepenuhnya kepada Al-Qur’an. Apapun bentuk keilmuan, wawasan (pengetahuan) yang mereka dapatkan dari Al-Qur’an, suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, siap atau tidak siap, mereka harus menjalankannya dengan sepenuh hati yang dipenuhi dengan kesabaran, ketulusan dan keikhlasan totalitas, karena pemahaman pasti akan datang setelahnya dengan dan atas izin Allah yang Maha Bijaksana. Dan segala bentuk kebenaran dari keilmuan, wawasan (pengetahuan) yang mereka dapatkan dari hasil penelitian (observasi), implementasi di lapangan, dan segala bentuk kebenaran dari ilmu dan pengetahuan eksternal lainnya yang mereka peroleh, yang dapat mengonfirmasi kebenarannya hanya satu, tiada lain adalah Al-Qur’an semata.

Dalam hablum minannas, seorang petani quranic akan berusaha dan berjuang untuk menanam, merawat, menjaga dan mengembangkan rasa empati, penghargaan, penghormatan, adab, etika, moral, cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia terlepas dari berbagai perbedaan yang mereka miliki, baik itu perbedaan dalam keyakinan (agama), golongan, suku, ras, bangsa, dll. Hal ini diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13:

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا​ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ​ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ‏ ١٣

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling memahami (saling mengenal, saling menghormati dan saling menghargai). Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah mereka yang paling bertakwa (berbudi pekerti) di antara kamu (bukan dari garis keturunan, status, harta dan kedudukan kamu). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Sedangkan dalam hablum minal alam, seorang petani quranic akan berusaha dan berjuang untuk menanam, merawat, menjaga, mengembangkan, mengelola dan mengolah dengan penuh rasa empati, penghargaan, penghormatan, adab, etika, moral, cinta dan kasih sayang, pada sumber pangannya, sumber daya alamnya, dan ekosistem alaminya agar tetap seimbang, adil, dan berkelanjutan (lestari).  Sehingga terciptalah sebuah kondisi kehidupan yang selaras dan harmonis terhadap seluruh makhluk ciptaan Tuhannya di alam semesta ini.

Inilah sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya fungsi dan peranan seorang manusia yang ditugaskan untuk menjadi Khalifah yang dapat membawa rahmat dan berkah Tuhannya bagi semesta alam, bagi semesta alam, dan bagi semesta alam!

وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ‏ ١٠٧

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Al Qur’an Surah Al-Anbiya ayat 107

Dan Filosofi inilah yang kemudian akan menjadi bagian dari karakter masing-masing individunya yang kami sebut sebagai Khalifah Fil Ard. Insha Allah…


Anak Yatim, Dhuafa dan Petani Quranic

Ada beberapa alasan mengapa kami sangat yakin bahwa anak yatim dan kaum dhuafalah yang memiliki peranan yang sangat krusial dalam meregenerasi Petani Quranic di masa saat ini. Di mana api yang membara bagaikan air yang sejuk, sebaliknya air yang sejuk bagaikan api yang membara.

Yang pertama, tekait dalam hal kapasitas dan kapabilitas diri. Gaya hidup seorang petani quranic sangatlah sederhana dan bersahaja, yang tiada sama sekali kemewahan, kenyamanan dan kemegahan pernak pernik duniawi yang ikut andil dalam kehidupannya. Bagi mereka, kehidupan di dunia adalah sebuah perjalanan singkat dalam proses menjalani sebentuk perjuangan, pengorbanan totalitas dalam pengabdian dan penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya, alam semesta dan seluruh makhluk ciptaan Tuhannya. Anak yatim dan kaum dhuafa memiliki kapasitas diri dan potensi yang sangat besar dalam memperoleh kapabilitas (kemampuan) diri dalam menjalani gaya hidup petani quranic ini.

Yang kedua, terkait frekuensi spiritual. Kita semua sudah pasti sepakat dengan pernyataan, bahwa ketika manusia berada di titik terbawahnya, yakni ketika mereka mengalami musibah, bencana, atau ketidakberdayaannya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat tidak nyaman, tidak aman, buruk dan berbahaya, maka yang pertama kali yang akan mereka lakukan adalah mengingat Tuhannya, memohon ampun kepada Tuhannya, dan memohon pertolongan dan bantuan kepada Tuhannya. Frekuensi spiritual dalam diri manusia akan melonjak tinggi bahkan hingga ke titik maksimal ketika mereka berada dalam kondisi atau keadaan tersebut. Sedangkan Anak yatim dan kaum dhuafa telah terbiasa dengan situasi dan kondisi kehidupan tersebut, yakni menjalani kehidupan sehari-harinya di titik terbawah, yang menjadikan mereka memiliki frekuensi spiritual yang stabil dan bahkan lebih tinggi dari manusia pada umumnya yang telah terbiasa hidup nyaman, aman, mewah, megah, glamor dan penuh dengan kesenangan sesaat. Dengan bermodalkan frekuensi spiritual yang mereka miliki tersebutlah, anak yatim dan kaum dhuafa akan dengan sangat mudah untuk menerima, memahami dan menjalani dengan sepenuh hatinya terhadap keilmuan dan wawasan (pengetahuan) yang akan mereka peroleh untuk menjadi seorang petani quranic.

Yang ketiga, terkait dengan kesabaran, keikhlasan dan ketulusan kalbu. Situasi dan kondisi kehidupan dunia modern yang serba canggih dan megah telah membawa manusia ke dalam kehidupan yang semakin menjauh dari fitrah kesucian kalbunya. Arogansi dan kesombongan diri manusia pun semakin menjadi-jadi, sehingga dengan angkuhnya mengkotak-kotakkan kelas dan kasta manusia ke dalam beragam golongan yang diukur dari level kepemilikian status, harta, tahta dan kekuasaannya. Anak yatim dan kaum dhuafa tentu saja akan ditempatkan di level paling dasar atau paling bawah, sedemikian rupa berbagai bentuk perlakuan yang meremehkan mereka, merendahkan mereka, menindas mereka, mengeskploitasi mereka, dll, sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari. Dan hal-hal seperti inilah yang menjadikan anak yatim dan kaum dhuafa memiliki level kemampuan dalam kesabaran, keikhlasan dan ketulusan kalbunya melebihi manusia pada umumnya, sedang kemampuan tersebutlah yang sangat krusial dari syarat dan ketentuan bagi manusia untuk menjadi seorang petani quranic.

Yang keempat, terkait dengan niat, hasrat (passion) dan motivasi diri. Menjadi seorang petani quranic bukanlah tentang sebuah kesuksesan diri dalam menikmati kenyamanan, kemewahan dan kemegahan dunia, melainkan tentang sebuah proses diri dalam menaikkan “Derajat” kita selaku manusia di hadapan Sang Penciptanya. Oleh karena itu dengan sangat krusialnya, dibutuhkan sebentuk perjuangan, pengorbanan totalitas dalam pengabdian dan penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya, alam semesta dan seluruh makhluk ciptaan Tuhannya. Anak yatim dan kaum dhuafa yang memiliki ketiga faktor spesial yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, akan dengan sangat mudah untuk menemukan keselarasan dan keharmonisan antara niat, hasrat (passion) dan motivasi dirinya dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dimiliki oleh seorang petani quranic.

Dan yang kelima, yang terakhir, terkait dengan status dan kedudukan di hadapan Sang Pencipta yang Maha Agung. Sebelumnya, di pragraf-pragraf awal esai ini, penulis telah memaparkan beberapa ayat yang menjelaskan dan menegaskan bagaimana status, kedudukan, fungsi dan peranan anak yatim dan kaum dhuafa di kehidupan umat manusia dalam Al-Qur’an. Namun yang paling mencengangkan dan menakjubkan bagi penulis adalah sebuah kisah dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahf ayat 65-82 yang menceritakan tentang pertemuan Nabi Khidir ‘alayhis salam dengan Nabi Musa ‘alayhis salam sampai-sampai Rasulullah Muhammad shallahu ‘alayhi wassallam pun berkata, “…Seandainya Musa ‘alayhis salam mampu untuk bersabar, mungkin kita akan bisa lebih banyak belajar dari Khidir ‘alayhis salam.” Pernyataan Rasulullah shallahu ‘alayhi wassallam tersebut tentu saja adalah sebuah penegasan betapa pentingnya kisah dari proses pembelajaran yang dilalui oleh Nabi Musa ‘alayhi salam pada waktu pertemuannya dengan Nabis Khidir ‘alayhis salam. Dan dari tiga kasus pelajaran yang diberikan oleh Nabi Khidir ‘alayhis salam kepada Nabi Musa ‘alayhis salam, dua di antaranya adalah tentang “menolong, melindungi dan membentengi anak yatim dan kaum dhuafa.” Illa Masha Allah. Maka dari kisah inilah kami sangat yakin sepenuhnya, bahwa anak yatim dan kaum dhuafa memiliki status dan kedudukan sebagai orang-orang yang diberkahi dan mendapat karunia khusus dari Allah Azza wa Jalla. Karena tidak ada satu hal pun yang kebetulan di dalam Al-Qur’an. Wallahu ‘alam

Dan oleh karena itulah, insha Allah melalui pendirian dan pengembangan program sekolah petani quranic pertama di Indonesia yang akan kami jalankan ini, kami berdoa dengan sepenuh hati, semoga dapat menjadi bagian dari perwujudan niat suci kami untuk berperan serta memaksimalkan fungsi dan peranan kami dalam menolong, melindungi dan membentengi anak yatim dan kaum dhuafa, serta mengembalikan fitrah suci dari fungsi dan peranan Petani dalam kehidupan umat manusia.

Inilah beberapa faktor utama dari keyakinan kami tentang peranan krusial anak yatim dan kaum dhuafa dalam regenerasi Petani Quranic sebagai sebentuk perjuangan kami untuk memperbaiki moral dan spiritual khususnya pada diri kami sendiri terlebih dahulu dan umat manusia pada umumnya, sehingga dapat merubah alur pergerakan sejarah masa depan umat manusia ke arah yang selaras dan harmonis dengan fitrah penciptaannya.

Kami adalah manusia biasa, yang tidak akan pernah luput dari dosa-dosa, kesalahan dan kekhilafan, yang juga memiliki batas-batas kemampuan dan kesanggupannya masing-masing. Namun itu tidak berarti bahwa kami hanya bisa berdiam diri begitu saja dan membenamkan kepala kami ke dalam pasir. Kami pun punya hak dan tanggung jawab dari Tuhan kami untuk memaksimalkan fungsi dan peranannya, dalam perjuangan akan pengabdian dan pengorbanan sepenuhnya kepada Tuhannya yang Satu. Hal inilah yang menjadi motivasi pribadi dalam diri kami masing-masing untuk terus mengarungi Majma’ul Bahrain dalam proses pertaubatan dan perbaikan diri kami.

Insha Allah…

Dengan Cinta,

Awaluddin Pappaseng Ribittara,

Yaumul Isnin, 07 Jumadil Tsani 1446