Pertanian Alami dalam Al Qur’an (Pertanian Sunnatullah)
“Tanah yang subur berada di pijakan kaki sang petaninya.”
Maksud dari pijakan kaki sang petani di sini adalah keilmuan, sikap, perilaku, moral, dan spiritual (keimanan) dari petaninya (manusianya).
Dalam Al Qur’an Surah Al A’raf ayat 58 Allah berfirman:
وَالۡبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخۡرُجُ نَبَاتُهٗ بِاِذۡنِ رَبِّهٖ ۚ وَالَّذِىۡ خَبُثَ لَا يَخۡرُجُ اِلَّا نَكِدًا ؕ كَذٰلِكَ نُصَرِّفُ الۡاٰيٰتِ لِقَوۡمٍ يَّشۡكُرُوۡنَ
“Dan tanah yang baik (subur), tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”
Keadilan dan kesejahteraan manusia akan selalu berbanding lurus dengan keadilan dan kesejahteraan alam semesta dan seluruh makhluk hidup di dalamnya. Dan karena keadilan dan kesejahteraan alam semesta hanya bisa didapatkan dari tanah yang subur, sedang tanah yang subur sangat bergantung pada keilmuan, sikap, perilaku, moral dan spiritualitas dari manusianya, maka sudah bisa dipastikan subjek utama dalam dunia pertanian alami adalah manusianya, bukan tanamannya, bukan ternaknya dan bukan lingkungan alamnya.
Pertanian alami, atau pertanian sunnatullah, adalah metode pengelolaan, pengolahan dan integrasi berkelanjutan dalam dunia pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan yang menegaskan betapa pentingnya hukum yang telah ditetapkan oleh Allah yang Maha Penyayang pada keseimbangan dan keselarasan (harmoni) dengan fitrah alam semesta ciptaan-Nya. Prinsip utama dari pertanian ini adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem, meniadakan penggunaan bahan kimia sintetis yang merusak keseimbangan ekosistem alamiah, dan pengelolaan sumber daya alam dengan baik dan benar serta penuh dengan kebijaksanaan ekologis dalam diri setiap manusia.
Beberapa karakteristik utama dari pertanian alami atau pertanian sunnatullah antara lain adalah:
- Keanekaragaman Hayati dan Keseimbangan Ekosistem. Pertanian sunnatullah wajib untuk menciptakan, menjaga dan merawat keseimbangan ekosistem dengan keanekaragaman hayatinya, dengan memanfaatkan interaksi alami (sesuai fitrah) antara manusia dengan berbagai jenis makhluk hidup di alam sekitarnya baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat.
- Penghormatan terhadap Alam dan Makhluk Hidup: Menghargai keseimbangan ekosistem alam dengan memperlakukan semua makhluk hidup dengan rasa hormat dan empati yang penuh dengan cinta dan kasih sayang terhadap tumbuhan yang ada di sekitar kita baik yang kita tanam maupun yang tumbuh liar, hewan ternak kita, habitat satwa liar, dan jutaan makhluk hidup lainnya di alam bawah tanah kita.
- Pengolahan Tanah dan Manajemen Limbah. Pertanian sunnatullah menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan kesuburan tanah melalui pengolahan tanah secara alami dengan memanfaatkan manajemen limbah yang menghasilkan pupuk kompos, pupuk organik cair, dan metode alami lainnya. Karena pada hakekatnya, tanah-lah yang menjadi elemen dasar dari penciptaan manusia. Dari tanah-lah kita berasal dan ke tanah jualah jasad kita akan kembali.
- Praktik Berkelanjutan. Pertanian sunnatullah menerapkan metode dari integrasi pertanian yang berkelanjutan, yang tidak hanya fokus pada hasil jangka pendek tetapi juga pada dampak jangka panjang terhadap kelestarian lingkungan, masyarakat dan generasi penerusnya.
- Pengetahuan Lokal dan Tradisional. Pertanian Sunnatullah menyatukan pengetahuan lokal dan praktik tradisional yang sedari dulu telah terbukti sangat efektif dalam menjaga keseimbangan alam sedemikian rupa alam sekitar pun akan merespon dan membalasnya dengan hal sama. Sebuah rahmat dan keberkahan dari Allah yang Maha Bijaksana. Bukanlah sebuah kebetulan belaka di mana nenek moyang kita terdahulu akhirnya dijajah dan dirampok hasil alamnya dalam kurun waktu yang cukup lama oleh bangsa Eropa. Karena pada hakekatnya, penjajah dan perampok hanya akan menjajah dan merampok bangsa yang kaya raya nan sejahtera dengan hasil alamnya.
- Menghormati Hukum Al Qur’an: Pertanian Sunnatullah menghormati dan patuh serta tunduk terhadap hukum-hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al Qur’an.
Pertanian alami atau pertanian sunnatullah melatih kita untuk bersabar, berjalan selaras fitrah waktu, bersyukur dan ikhlas dengan apa-apa yang telah dan sedang diberikan oleh Allah baik ketika ada hasil panen maupun ketika gagal panen. Karena pada dasarnya apapun yang kita tanam, itu semua bukan untuk diri sendiri atau manusia saja, melainkan untuk ekosistem bumi dan alam semesta (semua makhluk ciptaan Allah). Ego manusia sematalah yang membuat istilah gagal panen karena menurut mereka kurang cukup atau nihil yang mencerminkan ketiadaan rasa syukur dan keikhlasan dalam diri kita, sedangkan setiap manusia telah dicukupkan rezekinya masing-masing oleh Allah, dan pada hakekatnya makhluk lain pun telah menikmati apa-apa yang telah kita tanam, mulai dari akarnya, batangnya, daunnya dan buahnya. Tidakkah kita bersyukur karena telah menanam kebaikan bagi alam semesta ciptaan Allah?
Niat kita menanam, beternak dan mengelola sumber daya alam bukan untuk diri sendiri (manusia) saja, melainkan diniatkan untuk alam semesta ciptaan Allah. Saat ini dan beberapa dekade sebelumnya, khususnya di Indonesia, Malaysia dan wilayah asia tenggara ini. telah terjadi pengrusakan ekosistem alamnya secara signifikan bahkan sangat ekstrim. Salah satu buktinya sudah banyak hewan yang langka dan semoga saja tidak punah. Di daerah di mana kami dilahirkan, dulunya adalah surga dari kupu-kupu yang ragamnya hingga mencapai ribuan, burung tekukur, burung jalak kerbau, jangkrik, kunang-kunang, dll. Sekarang untuk menemukan mereka bagaikan mencari jarum dalam setumpuk jerami.
Al Qur’an dan Agrikultur
Ada jutaan jenis makhluk yang hidup di alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dengan keseimbangan ekosistem yang saling bersimbiosis mutualisme antara satu dengan lainnya sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing sehingga tidak ada satupun yang sia-sia dari seluruh makhluk ciptaan Allah. Baik pada ekosistem yang berada di lingkungan eksternal manusia, maupun di lingkungan internal (tubuh) manusia.
Dan dengan sangat kritis dan krusialnya, dunia agrikultur sebaiknya memperhatikan dengan seksama dan waspada terhadap apa yang ditegaskan dalam Al Qur’an di bawah ini.
Dalam Al Qur’an Surah Ar Rahman ayat 7 – 9, Allah telah menegaskan bahwa:
وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الۡمِيۡزَانَۙ ٧
اَلَّا تَطۡغَوۡا فِى الۡمِيۡزَانِ ٨
وَاَقِيۡمُوا الۡوَزۡنَ بِالۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُوا الۡمِيۡزَانَ ٩
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan (pada ekosistem di alam semesta), agar kamu jangan merusak keseimbangan (dari ekosistem) tersebut. Dan tegakkanlah keseimbangan (ekosistem) itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan tersebut.”
Dan dalam Al Qur’an Surah Al Isra ayat 44 Allah berfirman:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبۡعُ وَالۡاَرۡضُ وَمَنۡ فِيۡهِنَّؕ وَاِنۡ مِّنۡ شَىۡءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمۡدِهٖ وَلٰـكِنۡ لَّا تَفۡقَهُوۡنَ تَسۡبِيۡحَهُمۡؕ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيۡمًا غَفُوۡرًا ٤٤
“Tujuh lapis langit, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya. Dan tidak ada satu makhluk pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak dapat memahami (cara) bertasbihnya. Sesungguhnya Allah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Segala hal dan segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia terhadap ekosistem kehidupan bumi ini haruslah menaati adab dan aturan yang telah diperintahkan oleh Allah. Tiada lain adalah menegakkan, menjaga, tidak merusak dan tidak mengurangi dari keseimbangan ekosistem alamiah ciptaan Allah yang Maha Bijaksana. Karena jika tidak, maka ayam kampung itupun pasti akan pulang untuk bertengger di kandangnya. Tentunya semua akan kembali atau berdampak buruk pada kehidupan manusia itu sendiri, dan segala hal yang kita lakukan di lingkungan sekitar kita (alam semesta dan seluruh makhluk hidup di dalamnya) pasti akan berdampak pada kondisi kehidupan jasmani dan spiritualitas kita, karena dunia luar kita adalah cerminan dari dunia internal (spiritual) kita.
Dari Surah Al Isra di atas pun seharusnya kita menyadari bahwa segala bentuk tindakan dan aktivitas yang syarat dengan korupsi dan ekploitasi terhadap alam dan seluruh makhluk hidup di dalamnya, di mana mereka sedang bertasbih dan memuji Tuhannya, tentu saja telah melanggar dan ingkar dari ketetapan Allah azza wajalla. Sehingga wajarlah di masa sekarang ini, di dunia agrikultur modern (pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, dll) yang syarat dengan tindakan korupsi dan eksploitasi terhadap alam dan seluruh makhluk hidup di dalamnya, semua yang dihasilkannya, tidak lagi mendatangkan keberkahan dan rahmat dari Allah. Karena tidak lagi memenuhi kritieria thoyyib (baik dan benar) dalam proses membuka lahannya, mengelola tanahnya, menanam tanamannya, perawatan tanaman ataupun ternaknya dan pengolahannya yang syarat dengan tindakan korupsi dan eksploitasi yang berdampak pada kerusakan dalam jangka panjang bahkan permanen.
Apa dampak dan konsekuensinya?
Keseimbangan ekosistem telah terganggu, sehingga akan terjadi ketimpangan dimana-mana, hewan-hewan yang mampu bertahan akan menjadi liar dan tidak terkendali sedemikian rupa ular berbisa dan harimau yang ganas pun akan mampir di pasar rakyat. Belum lagi bencana alam yang terus menerus terjadi seperti banjir, longsor, badai angin topan, gempa bumi, dll. Semua ini dikarenakan beberapa pengendali atau pengontrol mereka telah musnah (punah) atau berkurang populasinya. Dimana pada akhirnya kami mengambil kesimpulan, bahwa aktivitas dalam dunia agrikultur yang seharusnya dijalankan saat ini bukanlah sekedar bertahan hidup apalagi sekedar untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi semata, melainkan niat dan tujuan utamanya adalah membangun kembali (memperbaiki) ekosistem alam di manapun kita berada yang sekian lama telah dirusak oleh saudara/i kita sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang muslim yang menanam pohon, menabur benih, lalu pohon atau tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, dan binatang ternak serta makhluk hidup lainnya, maka semua itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari)
“Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat maka hendaklah dia menanamnya.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Intisari dari pertanian alami itu adalah untuk membangun, merawat dan menjaga fitrah ekosistem alamiah ciptaan Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana. Ketika ekosistem terbangun, semua yang ada di dalamnya akan saling menutupi kekurangannya antara satu dengan yang lainnya dan saling mendukung kelebihannya antara satu dengan yang lain. Ketika ekosistem telah mapan, manusia tidak lagi perlu memikirkan bagaimana dengan apa yang mereka gelar sebagai hama, jamur, bakteri, dll, yang terkesan menganggu aktivitas mereka, sedang yang mereka gelar (hama, jamur, dan bakteri yang terkesan merugikan itupun) adalah bagian dari ekosistem itu sendiri. Karena tidak ada satupun ciptaan Allah di semesta alam ini yang sia-sia, mereka dan kita semua telah memiliki fungsi dan peranannya masing-masing.
“Meski kematian telah siap menjemput di esok hari sehingga kita sudah tidak lagi berada di atas tanah untuk melihat dan menikmati hasilnya, namun tetaplah menanam pohon kebaikan di tanah kita berpijak.”
Wallahu ‘alam.
Dengan Cinta,
Awaluddin Pappaseng Ribittara